Ambiguitas atau ketaksaan adalah gejala kegandaan makna pada suatu tuturan disebabkan: 1) perbedaan penafsiran gramatikal. 2) adanya unsur homonimi dalam kata/kalimat (abdul chaer, linguistik umum).
Didalam bahasa tulis (teks) sering kita menemukan satu redaksi yang dipahami dengan beraneka ragam penafsiran. hal ini dikarenakan dalam bahasa tulis unsur suprasegmental (nada, irama dan pola bunyi) tidak begitu nampak sehingga yang menjadi patokan dalam menangkap makna semantis dari teks, salah satunya adalah dengan merek-reka fungsi sintaksis dari setiap kata/morfem. misalnya bentuk kalimat Faiz dan Hendrik bersahabat baik. dia sangat mencintai istrinya dapat ditafsirkan maknanya menjadi 4 macam penafsiran. 1) Faiz mencintai istri Hendrik. 2) Hendrik mencintai istri Faiz. 3) Faiz mencintai istrinya sendiri. 4) Hendrik mencintai istrinya sendiri. manakah yang benar? disini kami tidak akan membahas bentuk penafsiran yang salah maupun yang benar sebab untuk hal ini, semua kembali kepada subyektivitas para penafsir dalam menyikapi relativisme kebenaran.
Adakalanya pula ambiguitas terjadi disebabkan masalah homonimi sedang konteksnya tidak jelas atau tidak ada pembatasan konteks yang dapat menyebabkan redaksi teks bermakna tunggal, sehingga pemahamannya bisa berkembang melintasi ruang dan waktu. contohnya bentuk kalimat dia anak malang dapat ditafsirkan:
1) dia anak yang lagi bersedih sebab meratapi nasibnya yang malang. atau dapat berarti 2) dia berasal dari kota malang.
Demikianlah ambiguitas sangat lumrah kita temukan dalam mengkaji suatu teks, tak terkecuali dalam beberapa matan hadits Nabi Saw yang kami rujuk dari kitab “Arba’in an-Nawawiyah”. kitab yang begitu populer di dunia pesantren dan banyak dihafal oleh kaum sarungan. adakalanya ambiguitas tersebut disebabkan perbedaan sikap dalam menganalisa fungsi gramatikal suatu lafadz dan adakalanya disebabkan perkembangan makna lafadz dari yang sangat sederhana ke makna yang lebih spesifik lagi dengan mengacu pada konteks kekinian. lantas bagaimana kita menyikapi adanya ambiguitas makna dalam beberapa hadits nabi tersebut? terserah pada para pembaca untuk menyikapinya, karena kami, dalam kajian ini hanya bermaksud untuk menganalisa beberapa hadits Nabi Saw dengan pendekatan linguistik dan meresearch beberapa redaksi matan yang terdapat ambiguitas makna didalamnya tanpa bermaksud untuk mendekstuksi pemahaman lama terhadap kandungan Hadits.
Ada beberapa matan hadits dari kitab Arba’in an-Nawawwiyah yang redaksinya mengandung ketaksaan makna. di antaranya:
1)Hadits ke-1
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله تعالى عليه وعلى آله وسلم يقول : إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
Penjelasan ambiguitas makna dalam hadits di atas sebagaimana berikut:
- Bila إلى bermakna إلى dan لام pada lafadz لدنيا bermakna ta’lil, maka matan hadits yang bergaris bawah di atas secara letterlag bermakna: maka barang siapa berhijrah ke (jalan) Allah dan Rasulnya. dan barang siapa berhijrah karena dunia yang ingin dia peroleh atau karena wanita yang hendak ia nikahi.
- Bila إلى bermakna ta’lil dan لام pada lafadz لدنيا juga bermakna ta’lil, maka matan hadits yang bergaris bawah secara letterlag bermakna: barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasulnya, dan barang siapa berhijrah Karena dunia yang ingin dia peroleh atau wanita yang ingin dia nikahi.
Mungkin secara sepintas tidak ada perbedaan pemahaman yang mencolok dari dua tarjamahan hadits diatas. akan tetapi bila kita menganalisa dengan pendekatan gramatik, jelas terdapat perbedaan dalalah (makna semantis) yang begitu tajam.
Dari ulasan tarjamah Hadits pada paragraph yang pertama, dapat kita ketahui adanya perbedaan redaksi antara mengidhafahkan huruf jer إلى pada lafadz الله dan رسوله di satu sisi dan di sisi yang lain dengan mengidhafahkan huruf jer لام pada lafadz دنيا. maka secara implisit dan metaforis, sebenarnya hadits diatas menjelaskan hikmah tentang kasih sayang Allah Swt yang begitu besar kepada kita sehingga untuk mengerjakan suatu ibadah atau amalan-amalan ukhrawi, adanya niat yang akan membuahkan pahala cukup dijustifikasi dengan melihat bentuk dhahirnya pekerjaan. semisal kita pergi ke pengajian meski tidak dibarengi dengan niat yang kuat untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh muballigh, maka akan tetap dihitung sebagai ibadah, begitu pula semisal kita berinfaq untuk pembangunan masjid walau tanpa keikhlasan dan niat karena Allah Swt, hal itu akan tetap menghasilkan pahala. berbeda halnya dengan amalan duniawi, maka niat sebagai landasannya, tidak cukup hanya dengan melihat sisi dhahirnya suatu pekerjaan saja.
Sedangkan dari ulasan tarjamah Hadits pada paragraph yang kedua, maka tidak ada perbedaan antara penggunaan huruf jer إلى dan لام. karena keduanya sama-sama bermakna ta’lil, sehingga maksud dari hadits di atas seperti yang biasa kita dengar yaitu tentang eksistensi niat sebagai landasan suatu amal baik maupun buruk. niat tidak bisa dijustifikasi hanya dengan melihat dhahirnya suatu perbuatan saja. sehingga bila kita beramal baik namun tanpa dibarengi dengan niat yang baik, maka amal kita sia-sia belaka. demikian pula sebaliknya.
2) Hadits ke-2
(قال : فأخبرني عن أماراتها قال أن تلد الأمة ربتها وأن ترى الحفاة العراة العالة رعاء الشاء يتطاولون في البنيان ثم انطلق فلبثت مليا ثم قال يا عمر أتدري من السائل ؟ قلت : الله ورسوله أعلم قال فإنه جبريل أتاكم يعلمكم دينكم)
Penjelasan ambiguitas makna pada hadits di atas sebagaimana berikut:
- Bila redaksi hadits yang bergaris bawah menggunakan bentuk jumlah fi’liyah dengan susunan yang baku yaitu: fi’il, fa’il dan maf’ul, maka bermakna: budak wanita yang melahirkan tuan putrinya.
Hadits tersebut merupakan penggalan dari matan hadits yang cukup panjang yang diriwayatkan oleh Imam muslim ra. isinya menceritakan dialog antara Rasulullah Saw dengan Malaikat Jibril. ketika beliau ditanya tentang tanda-tanda hari kiamat, beliau bersabda bahwa salah satu tandanya adalah ketika suatu saat seorang budak telah melahirkan tuannya. secara metaforis, hadits ini mengisyaratkan akan kedurhakaan seorang anak kepada orang tuanya yang telah melampaui batas sehingga perlakuan istimewa seorang anak kepada orang tua yang diwajibkan agama telah berubah menjadi perlakuan seorang tuan tanah terhadap hamba sahayanya. lantas bila fenomena ini telah menjadi tontonan sehari-hari sebagai gejala penyakit ketimpangan moral yang semakin menjamur di kehidupan masyarakat, mungkin tinggal menunggu hitungan detik saja untuk menyambut datangnya hari kiamat.
- Bila redaksi hadits yang bergaris bawah menggunakan bentuk maf’ul muqaddam (objek yang didahulukan sebelum subjeknya) dan fa’il mu’akhar (subjek yang diakhirkan),maka bermakna: tuan putri yang melahirkan budak wanitanya.
Kalau kita coba mengkorelasikan pemahaman hadits dengan fenomena sosial yang terjadi saat ini, maka hadits di atas mengisyaratkan terjadinya penyelewengan fungsi status sosial dan dekadensi moral yang merata di masyarakat. gambaran kongkritnya: tidak mungkin seorang yang berstatus sebagai pemimpin akan memperbudak rakyatnya sendiri dengan merampas hak-hak mereka atau mengerdilkan negaranya dengan menjual sumberdaya alamnya kepada pihak asing, begitu pula tidak mungkin seorang ayah memperkosa anak kandungnya atau seorang ibu menjual anak gadisnya ke rumah-rumah bordil hanya demi sesuap nasi seperti halnya tidak mungkin bagi orang tua untuk memperbudak buah hatinya sendiri, namun demikianlah yang kerap terjadi pada saat ini.
4) Hadits ke-4:
[ عن أبي عبد الرحمن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال : حدثنا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم وهو الصادق المصدوق : إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه أربعين يوما نطفة ثم يكون علقة مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك ثم يرسل إليه الملك فينفخ فيه الروح ويؤمر بأربع كلمات : بكتب رزقه وأجله وعمله وشقي أو سعيد فو الله الذي لا إله غيره إن أحدكم ليعمل بعمل أهل الجنة حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل النار فيدخلها وإن أحدكم ليعمل بعمل أهل النار حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل الجنة فيدخلها ] رواه البخاري ومسلم
Sebagian dari hadits di atas menjelaskan proses penciptaan manusia di dalam rahim. dan lafadz علقة pada matan hadits adalah satu-satunya objek pembahasan kami yang memiliki ambiguitas makna disebabkan hubungan semantik dari kata tersebut bersifat homonini (Musytarak). penjelasannya sebagaimana berikut:
- Lafadz علقة dalam beberapa kamus bahasa memiliki berbagai makna diantaranya 1. “segumpal darah” dan 2. “sesuatu yang menggantung/melekat”. bila mengacu pada makna yang pertama, maka proses penciptaan manusia bisa digambarkan dengan begitu sederhana. dari percampuran antara sperma dan ovum (Nutfah) menjadi segumpal darah (Alaqah) kemudian menjadi segumpal daging/janin (Mudghah) dan setelah genap empat bulan ditiuplah ruh ke dalam janin tersebut. namun bila mengacu pada makna yang kedua, maka علقة disini merupakan sifat dari Nutfah yang melekat pada dinding rahim. sebagaimana dipaparkan oleh Para pakar Embriologi modern bahwasanya setelah terjadi pembuahan (amsyaj) maka Nutfah (yang sudah bercampur tadi ) tersebut melekat di dinding rahim. oleh sebab itu wanita yang keguguran, apapun penyebabnya yang pasti janin tersebut tidak dapat lagi melengket di dinding rahim sang calon ibu. fal ‘iyadzu billah.. Maka seiring dengan semakin berkembangnya sains dan tekhnologi, semakin nampaklah mukjizat dari Rasulullah Saw sebagai bukti akan kebenaran risalahnya.
5) Hadits ke-5:
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ] رواه البخاري ومسلم.
penjelasan ambiguitas makna dari hadits di atas, sebagaimana berikut:
-Bila Ha’ dhamir pada lafadz منه kembali pada lafadz أمرنا maka tarjamah hadits diatas secara letterlag, demikian: “barang siapa yang memperbaharui dalam urusanku ini dengan sesuatu yang tak termasuk dari urusanku, maka ia tertolak “. implikasinya, semua jenis pembaharuan dalam urusan agama dicap sebagai sesuatu yang bernilai buruk dan harus dijauhi dikarenakan seluruh bid’ah adalah munkarat tanpa terkecuali, sehingga tidak ada lagi ruang sesempit apapun itu untuk akulturasi, asimilasi maupun multiinterpretasi dalam menyikapi berbagai fenomena keagamaan yang ada. tidak ada istilah normativitas dan historisitas islam, Karena ajaran islam itu lurus dan sudah sempurna, baik kemasan ataupun isi, teori maupun prakteknya harus terikat dengan apa yang ada pada zaman Nabi Saw, sehingga apa yang belum pernah dikerjakan beliau adalah bid’ah yang tercela. lantas bila dizaman beliau belum ada sekolah sebagai sarana untuk menuntut ilmu, apakah system pendidikan yang ada sekarang patut kita cela? wallahu a’lam..
- Bila Ha’ dhamir pada lafadz منه kembali pada isim maushul من , maka pemahaman hadits secara letterlag kurang lebih demikian: barang siapa yang memperbaharui dalam urusanku ini dengan sesuatu “yang bukan darinya”, maka ia tertolak.
Kami beranggapan bahwasanya yang dimaksud dengan “yang bukan darinya” adalah tidak adanya dalil syar’i yang kuat yang dimiliki seorang pembaharu yang dapat menjaga orsinalitas perbuatannya dari berbagai macam bentuk penyelewengan dan penyimpangan. sehingga pembaharuan yang dia lakukan betul-betul sejalan dengan maqashid as-syari’ah. implikasinya, bila mengacu pada pengertian secara bahasa bahwa bid’ah adalah suatu pembaarauan yang tanpa ada batasan (mutlak) maka harus ada pengklasifikasian antara bid’ah hasanah –seperti pengkodifikasian al-Qur’an, shalat Tarawih berjamaah, Tahlilan, pemabacaan Barzanji dll- yang mendapat legitimasi syara’ dengan bid’ah sayyi’ah yang tertolak oleh syara’. tidak semua pembaharuan itu tercela sebab pembaharuan adalah keniscayaan dan sunnatullah yang tak tergantikan. Seperti kata pepatah arab “at-Taghayyur la yataghayyar”.
Agama yang oleh Rasulullah Saw diibaratkan suatu bangunan, dimana kita bertempat tinggal di dalamnya, haruslah selalu dijaga keindahan dan keasriannya mungkin dengan cara mengecat temboknya agar Nampak lebih cerah, mengubah gentengnya yang bocor agar kenyamanan kita tak terganggu maupun menghias dindingnya dengan berbagai macam model kaligrafi sehingga membuat betah setiap orang yang memasuki rumah kita. apa yang disampaikan Rasulullah adalah isi, sedangkan wadahnya adalah semangat zaman yang berbeda. dari sini kita tahu bahwa historisitas agama begitu berwarna-warni, meskipun sisi normativitasnya tetaplah satu. selaras dengan semboyan Negara kita “bhineka tunggal ika”. Wallahu a’lam.
makasih bang...,bs buat referensi nih...
BalasHapuskayax q pengunjung awal ya....hehe.....